Robi adalah seorang
anak jalanan yang mengamen di simpang lampu merah kota. Bermodalkan
sebuah gitar kecil, Robi mengamen disimpang lampu merah. Robi telah
lama menjadi anak jalanan semenjak ayah dan ibunya bercerai. Ketika itu
ayah dan ibunya pergi entah ke mana. Sedangkan Robi ditinggalkan
sendirian di kota itu. Robi tidak mempunyai rumah, ia hanya tidur di
emperan- emperan toko orang.
Setiap mulai mengamen pagi hari Robi merasa sedih melihat anak- anak yang berseragam putih merah bergembira berangkat sekolah. Sedangkan dirinya hanya bisa meminta- minta dengan mengandalkan sebuah gitar kecil yang berserakan nadanya. Dia pun tampil dengan pakaian yang compang- camping dan lusuh.
Pada suatu hari Robi diajak pergi ke sekolah oleh temannya Anatona. Robi pun mengikuti Anatona ke sekolahnya. Di sekolah Anatona memperkenalkan Robi kepada teman- temannya. Ada diantara teman- teman Anatona yang kasihan terhadap Robi dan ada juga yang tidak senang kepada Robi. Salah satu teman Anatona yang bernama Egi mengejek Robi.
“Eh pengemis jelek,yang selalu minta
uang kepada papaku waktu aku pergi sekolah. Mengapa kau ada di sini? Kau
tak pantas menginjakkan kakimu di tempat ini. Pergilah kau!” Mendengar
ejekan Egi itu Robi sedih dan ia terisak- isak menangis. Ia segera
meninggalkan sekolah dengan berlari kencang menuju simpang lampu mnerah.
Di tepi jalan Robi bersedih sendirian. Air matanya bercucuran menangisi nasibnya. Tak lama kemudian datanglah Anatona. Anatona mengobati kesedian Robi. Robi dibawa Anatona ke rumahnya. Ia kemudian bermain bola kaki bersama Anatona dan teman- temannya.
Esok paginya Robi kembali mengamen. Pas lampu sedang bewarna merah Robi bergitar sambil bernyanyi serta meminta- minta pada orang- orang yang berada diatas mobil ataupun sepeda motor. Di depan mobil avanza bercat hitam seseorang meneriaki Robi,”Hai pengemis, pergilah kau jauh-jauh dari mobilku!” Robi mengarahkan pandangannya ke dalam mobil.
Ternyata yang meneriaki Robi itu adalah
Egi teman sekolahnya Anatona. Papa Egi yang membawa mobil memanggil Robi
dan memberinya sedikit uang. Tak lupa berucap terimakasih kepada papa
Egi, Robi pun kembali ke tepi jalan karena lampu hijau sudah nyala. Di
atas mobil avanza hitam itu Egi menyalahkan papanya yang memberi Robi
uang,
“Papa kenapa kasih uang kepada pengemis tak tahu malu itu?”
“Papa kenapa kasih uang kepada pengemis tak tahu malu itu?”
“Kasihan kita melihatnya. Dia tak punya orang tua dan tak punya sanak saudara juga. Dia hanya bisa hidup dengan mengamen. Dengan hasil mengamennya dia makan. Kalau dia tak dapat uang dari mengamen maka dia tak bisa makan,” kata papa Egi kepada Egi.
“Itukan urusan dia pa, Bukan urusan kita. Kenapa juga kita harus kasih dia uang?” Kata Egi membantah perkata papanya.
“Egi, Kamu tak boleh seperti itu. Kita harus baik kepada siapa saja dan yang utama kepada pengemis dan orang kurang mampu. Kita tak boleh mencacinya karena dia pengemis. Kita hendaknya bersyukur karena kita tak jadi pengemis. Itu lebih baik daripada kita mencaci dia,” kata papa Egi menasehati anaknya.
“Egi, Kamu tak boleh seperti itu. Kita harus baik kepada siapa saja dan yang utama kepada pengemis dan orang kurang mampu. Kita tak boleh mencacinya karena dia pengemis. Kita hendaknya bersyukur karena kita tak jadi pengemis. Itu lebih baik daripada kita mencaci dia,” kata papa Egi menasehati anaknya.
Egi kesal mendengar nasehat papanya. Ia hanya diam dan tidak membantah lagi perkataan papanya.
Egi dengan perasaan kesal belajar di sekolah. Ketika pulang sekolah Egi melihat Robi lagi, ejekanpun kembali keluar dari mulut Egi,”Hai pengemis, pergi kau dari hadapanku!” Robi tak acuh saja dengan ejekan Egi dan ia terus saja mengamen. Pada hari-hari berikutnya kalau Egi bertemu dengan Robi ia akan mengejek Robi.
Sewaktu Egi pulang sekolah dengan hati yang gembira dia berjalan disebuah gang sempit dekat sekolahnya. Tepat di tengah gang sempit itu beberapa orang anak jahil menghampirinya dan minta uang padanya. Egi dibuat tak berkutik oleh anak-anak jahil itu. Kebetulan di kantong Egi hanya ada uang untuk ongkos pulangnya saja. Egi memberikan uang itu kepada anak-anak jahil itu.
Mereka terus memaksa Egi untuk
memberikan uang lebih padanya. Tapi Egi tak punya uang. Egi dipukuli
supaya menyerahkan uang. Egi babak belur dipukulinya. Mereka akhirnya
meminta tas dan sepatu Egi. Karena takut dipukuli lagi maka Egi
memberikan tas dan sepatunya kepada mereka. Tapi mereka itu tetap saja
memukuli Egi. Di sana tak ada siapa- siapa, kemana Egi harus minta
tolong.
Egi berteriak- teriak minta tolong.
Suara teriakan Egi didengar oleh Robi. Robi tahu bahwa itu suara Egi.
Robi membawa teman-temannya untuk menolong Egi. Anak-anak jahil itu
dihajar oleh Robi dan teman-temannya hingga mereka babak belur. Mereka
akhirnya menyerahkan uang, tas dan sepatu yang diambilnya dari Egi,
sebelum mereka lari menyelamatkan diri mereka.
Egi dibawa ke rumah sakit karena keadaannya parah. Di kamar rumah sakit itu Egi menyesali perbuatannya selama ini kepada Robi,” Bi, aku menyesali perbuatanku selama ini padamu. Aku mau kamu memaafkan kesalahanku yang banyak itu. Aku juga berterima kasih padamu karena kamu telah menyelamatkan nyawaku,” kata Egi minta maaf kepada Robi.
“Aku memaafkan kamu Gi. Kamu ngak banyak salah sama aku. Malahan papamu yang memberikan uang jajan padaku waktu mengantarin kamu sekolah. Seharusnya aku yang minta terima kasih sama keluargamu,” kata Robi menanggapi permintaan maaf Egi.
“Ya kita sesama manusia harus bisa memaafkan kesalahan orang lain kan?”
“Ialah”
Robi memutar arah pandangannya ke arah papanya, lalu ia meminta sesuatu,”Pa, bagaimana kalau Robi tinggal di rumah kita saja pa. Kebetulan aku tidak ada teman di rumah,”
“Kalau papa boleh saja, tidak ada masalah.Kalau Robi bagaimana? Mau tinggal bersama Egi?”
“Mau pak,” jawab Robi singkat.
Besoknya Egi sudah boleh pulang dari rumah sakit. Iapun membawa Robi tinggal bersamanya. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar