Oleh: Muhtar SadiliDalam pandangan banyak ilmuan muslim, setiap individu merupakan figur sentral dalam sistem ekonomi. Karena individulah yang akan menanggung sendiri perbuatnnya. Baik di dunia maupun di hari kemudian kelak.
Namun, kemerdekaan individu tersebut harus mampu memperjuangkan kehidupan sosial yang penuh dengan kosakata kesejahteraan. Kemerdekaan individu ini merupakan ujian nyata; apakah sistem sosialnya baik ataukah buruk dan seberapa jauh sistem tersebut membantu atau menghalangi peningkatan kualitas individu.
Spiritualitas Bekerja
Islam menaruh penghargaan yang tinggi atas kemampuan wirausaha. Islam lebih menghargai seseorang yang melakukan usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, dibandingkan menggantungkan begitu rupa pada belas kasihan sesama.
Sebagai contoh, kisah Ab¬durrahman bin Auf yang sangat dikenal piawai dalam berniaga dan di¬segani karena termasuk orang kaya Mekah, tapi rela meninggalkan seluruh kenikmatan harta dan status sosialnya dengan hijrah ke Madinah. Ketika ditawari berbagai fasilitas oleh Sa'ad bin Rabi, sahabatnya yang merasa prihatin, tapi dengan halus Abdurrahman bin Auf menolaknya dengan berdo'a sambil berkata: 'cukuplah bagiku, engkau tunjukkan pasar'.
Sikap sahabat nabi ini adalah cermin ideal etos kerja Islami, 'kerja adalah kenisayaan sekaligus ibadah'. Keniscayaan bekerja itu sebagai manifestasi dari anugrah daya yang di¬berikan Allah swt., yaitu berupa fisik yang menghasilkan ke-giatan fikiran untuk ilmu pengetahuan. Kalbu yang mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, beriman, dan merasa, serta berhubungan dengan Allah swt. Dan yang paling penting daya itu bisa menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan dan menanggulangi kesulitan.
Bekerja adalah mata rantai dari sikap keislaman kita yang setiap hari diucapkan ketika shalat. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku hidup dan matiku kesemuanya adalah untuk Allah, pemelihara se¬luruh alam” Ini dikuatkan dengan misi penciptaan manusia untuk ibadah.,“Dan sesungguhnya Aku tidak menciptakan jin dan manu¬sia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz¬-Dzariyat/51: 56).
Spirit kerja sebagai ibadah ini, ternyata ditemukan juga di dalam spirit kapilitasme. Adalah Weber yang melihat etika protestan di Jerman pada tahun 1905, terutama sekte Calvinis, se¬bagai yang mempengaruhi kebangkitan kapitalisme. Takdir bagi kaum Calvinis setali tiga uang dengan semangat kerja itu sendiri, karena takdir Tuhan hanya diperuntukkan bagi hamba pilihan yang menempatkan kerja di setiap motivasi kehidupan.
Islam sendiri sebenarnya datang lebih dahulu dengan etos kerjanya yang dikenal sangat giat seperti yang diuraikan di atas tadi. Pematangan jiwa enterpre-neurship lewat piranti teologis ini, menegaskan etos kerja dalam Alqur’an akan berban¬ding lurus dengan mentalitas setiap orang. Struktur berfikir atas alam pikiran manusia merupakan bagian terpenting dari kesadaran manusia di dalam upa¬ya untuk mengubah atau menentukan sejarah dalam memaknakan dunia
Manusia adalah makhluk yang sengaja diberikan bendera khalifah di bumi, karena cara berfikirnya yang akan mempengaruhi apa yang akan dikerjakannya. Dalam wahyu pertama yang diturunkan pada Nabi kita mendapatkan perintah untuk membaca dan menarik nilai dari ilmu pengetahuan-Nya untuk memberikan kemakmuran untuk seru sekalian alam [QS Al’Alaq/196:1-5].
Kesempurnaan Bekerja
Islam adalah agama yang memusatkan diri pada ¬aspek ketuhanan yang diteguhkan dengan kalimat syahadat, tapi jangan lupa, Islam mempunyai komitmen yang kuat untuk kepentingan kemanusiaan universal. Analisis sosio-ekonomi etos kerja harus memadukan aspek ketuhanan-kemnusiaan. Kuntowijo¬yo (1995), seorang yang banyak berjasa dalam memberikan kerangka kerja 'ilmu sosial provetik' itu, selalu menekankan pentingnya penyatuan "amal" sebagai term Alqur’an untuk aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhan manusia untuk melaksanakan misi khalifah di bumi dengan 'kerja' yang ada dalam nalar sekuler.
Hal ini juga akan berimplikasi dengan sistem ekonomi. Islam telah menempatkan manusia unsur pertama dan menyisihkan modal dan kerja. Karena kemiskinan ruhani lebih berbahaya dari kemiskinan materi bagi setiap individu muslim dalam menggapai tujuan hakiki. Dengan penekanan pada kekayaan ruhani, Islam mewujudkan 'aku' manusia dari 'unsur-unsur dalam' yang ada pada dirinya, berbeda dengan pandangan materialisme yang menjadikan 'aku' manusia bersumber dari 'luar' dirinya, yakni alam materi – modal dan kerja. Pandangan materialisme ini melahirkan sekian banyak dampak negatif yang tidak akan sesuai dengan jati dirinya
Inilah yang dapat kita baca dalam kecenderungan kapitalisme mutakhir yang menempatkan matrialisme sebagai ajudan setiap aktifitas manusia. Ekonomi Islam hadir untuk memberikan jalan keluar dari wajah bopeng kapitalisme yang telah melahirkan pemanfaatan begitu pula pada segelintir orang dan kecongkakan sosialisme yang menguras kebebasan setiap individu sehingga tidak lagi mendapatkan keakyaan spiritualnya.
Kita sepenuhnya bisa memahami bagaimana 'tesis Weber' telah melahirkan kesimpulan bahwa etika protestan telah mampu mengerek etos kerja. Tapi kita juga patut jeli atas perkembangan kapitalisme mutakhir yang tergelincir pada pemuasan material yang sangat bertolak belakang dengan misi profetik kekhalifahan di bumi untuk memberikan rahmat seru sekalian alam (rahmatan lil'alamin).
Dengan kata lain, untuk menguji kebenaran tesis Weber ini diperlukan kearifan dalam melihat tujuan ter¬akhir dari semua yang kita lakukan. Dalam Islam kesuksesan seorang terletak pada visi yang diarahkan untuk menjadikan hidup penuh arti. Pribadi muslim dilumuri oleh etos kerja yang tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu adalah ibadah.
Terdapat semacam panggilan suci untuk terus memperbaiki diri dalam usaha pengabdian pada ummat. Secara metaforis, telah kecanduan untuk beramal saleh, karena jiwanya gelisah apabila dirinya tidak segera berbuat kesalehan.
Entrepreneurship di mata Islam adalah manifestasi dari khalifah manusia di bumi. Islam hadir dalam suasana bangsa Arab yang mempunyai aktifitas dagang yang sangat terkenal. Nabi Muhammad telah memberikan warna perniagaan yang untuk ukuran zaman sangat modern; jujur dan selalu menjadikan kepuasan bagi semua pihak. Terdapat nilai untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada indivdu untuk memilih mana yang paling sesuai de¬ngan batas kemampuannya. Tapi ini, tetap menekankan 'kekayaan spiritual' setiap ummatnya.
Kebangkitan kapitalisme dengan segala resikonya, hanya mengantarkan masyarakat Barat pada sikap hedonistik, individualistik sekaligus merontokkan misi profetik etika protestan yang kerap dikenal dengan tesis “Weber itu". Pemuja kapitalisme tidak mampu keluar dari jerat kecintaan material.
hope you can do it guyys :)
http://www.info-airin.com/perspektif/rohani-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar